Hariring Peuting

edisi Petualangan Si Joe, menggapai langit-langit mimpi.

Friday, March 18, 2005

se-mil lebih sedepa (sebuah cerita kosong:red.)

Prolog:
...aku terbangun dari ketaktersadaran ketika tetesan embun pagi membelai lembut wajahku. Walau terasa berat, kupaksakan membuka mata. Dikejauhan sinar mentari pagi yang selama ini kucari mulai menampakkan kehangatannya. Aku hampir sampai............

Bab I:
Tak terasa sudah se-mil perjalanan ini kulalui, semenjak aku merasa mulai mampu melangkah. Berbekal sebuah keyakinan akan apa yang kucari kumulai langkahkan kaki menjelajahi tanah tanah yang asing bagiku. Aku mulai belajar untuk memilih jalan mana yang akan kulalui ketika aku tiba di sebuah percabangan. Walau nampak tak jelas namun kuputuskan tuk memilih satu jalan yang tak banyak dilalui, walau satu jalan yang lainnya nampak tak berkerikil dan dihiasi perdu-perdu di sisi kanan dan kirinya, namun bisikan itu begitu kuat menuntunku ke jalan ini.

Suatu waktu pernah ku tersesat di gelap malam hingga tak tahu lagi arah mana yang harus kutuju. Aku mulai goyah, sempat terlintas penyesalan atas jalan yang dipilih.
Namun ketika keputusasaan bersiap mencengkramku dari belakang, beruntung alam menjadi penuntunku. Titik titik bintang di antara langit malam menjadi penunjuk arahku, air hujan menjadi pelepas dahaga dan pepohonan menjadi tempat berlindungku.

Bab II:
Dari perjalanan ini aku mulai banyak belajar mengenai kesederhanaan, makna hidup, lingkungan dan pengenalan diri. Aku mulai mengerti akan banyak hal.

Sampailah aku disebuah lembah biru yang didalamnya kujumpai beragam bunga bermekaran. Dengan segala keindahan warnanya mencoba menggodaku untuk menghampiri. Beberapa bunga menggelitik akalku untuk mendekat, kucoba untuk mensarikan madu dari satu diantaranya, namun tangkainya berduri dan melukaiku. Kuhampiri lagi bunga yang lain, sayang seekor kumbang telah lebih dulu hinggap. Tak berputus asa, kucoba hampiri bunga lainnya lagi, namun layu tak begitu lama setelah kupetik. Lalu kujumpai satu bunga yang cahayanya memancar begitu indah dan tersenyum menatap kearahku, namun sekumpulan lebah memaksa mengurungkan niatanku.


BAB III:
Kuputuskan tuk kembali ke jalanku semula, karena ternyata bunga bunga hanya bermekaran di musim semi.
Semakin jauh kumelangkah, semakin mendaki pula jalan yang ku lalui. Hingga aku sampai pada tebing yang menjulang. Perbekalan hampir habis, namun perjalanan masihlah panjang. Dengan sisa sisa kekuatan yang ada ku mulai mendaki dinding tebing.
Langkah awal memang selalu terasa berat, namun akhirnya aku mulai terbiasa. Aku terus mendaki tanpa menghiraukan tubuhku yang lelah dan berdarah. Sesekali berhenti dicerukan tebing untuk kemudian mendaki lagi. Ketika hampir sampai diatas puncak, pijakanku melemah tak mampu lagi menahan berat tubuhku sendiri dan aku terjatuh, beruntung sebatang pohon menahanku dari gaya gravitasi yang mencoba mensudahi perjalananku. Dengan sisa sisa tenaga ku merayap menggapai puncak tebing, dan akhirnya sampailah ku dipuncak. Namun tubuh ini sudah terlalu lelah, dan akupun tak sadarkan diri.

Epilog:
Aku terbangun dari ketaktersadaran ketika tetesan embun pagi membelai lembut wajahku. Walau terasa berat, kupaksakan membuka mata. Dikejauhan sinar mentari pagi yang selama ini kucari mulai menampakkan kehangatannya. Ternyata puncak tebing bukan akhir dari perjalanan. Aku tersadar perjalanan sebenarnya baru dimulai saat ini. Berbekal semil peristiwa, kumulai menapaki jalan yang tinggal sedepa. Aku hampir sampai.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home